Laporan:Lin hs
PEKANBARU,www.mediaaktualitas.com -Selasa(14/10/25)
Memasuki bulan kedelapan masa kepemimpinan Gubernur Abdul Wahid, situasi sosial politik di Riau tampak belum sepenuhnya stabil. Sejumlah aksi masyarakat dan mahasiswa kembali mewarnai dinamika pemerintahan, menandai bahwa ekspektasi publik terhadap kepemimpinan baru ini masih tinggi namun dibarengi rasa kecewa yang kian terbuka.
Terbaru, pada Senin (13/10/2025), kelompok Masyarakat Riau Peduli Keadilan menggelar aksi di depan Kantor Wilayah BPN Provinsi Riau, Jalan Cut Nyak Dien, Pekanbaru. Aksi tersebut diwarnai ketegangan dan insiden berdarah setelah beberapa peserta mengalami luka di bagian kepala, sebagai simbol perlawanan terhadap praktik yang mereka sebut sebagai “mafia tanah”.
Koordinator aksi Jasril Rz bersama Afifuddin menegaskan, aksi ini merupakan bentuk kekecewaan mendalam terhadap lembaga pertanahan dan aparat hukum yang dinilai gagal menindak oknum pejabat penerima suap dari jaringan mafia tanah di Riau. Mereka juga menyerukan agar Presiden Prabowo Subianto turun tangan dan mencopot sejumlah pejabat yang dianggap terlibat.
“Kami menolak segala bentuk praktik kotor dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh oknum pejabat BPN. Riau tidak boleh dibiarkan menjadi sarang mafia tanah,” tegas Jasril di tengah aksi yang dijaga ketat aparat keamanan.
Aksi tersebut kemudian menuntut agar BPN Kota Pekanbaru segera mengeksekusi putusan pengadilan terkait sertifikat milik PT HM Sampoerna serta membatalkan PK yang dinilai cacat hukum.
Rentetan Aksi dan Sorotan Sepanjang Pemerintahan Abdul Wahid
Gelombang unjuk rasa ini bukan yang pertama kali terjadi sejak Abdul Wahid menjabat. Dalam beberapa bulan terakhir, berbagai elemen masyarakat—mulai dari mahasiswa, buruh, hingga pelaku usaha—turut melancarkan aksi protes dengan beragam tuntutan.
14 Agustus 2025: Mahasiswa Universitas Riau (UNRI) merubuhkan pagar Kantor Gubernur Riau dalam aksi menuntut transparansi beasiswa, penanganan kebakaran hutan, dan rencana pembangunan pengadilan militer di dekat kampus. Dalam pernyataannya, Gubernur Abdul Wahid menyebut keterlambatan pengumuman beasiswa disebabkan kendala teknis anggaran.
1 September 2025: Ribuan mahasiswa kembali turun ke DPRD Riau menuntut reformasi hukum dan keadilan sosial. Gubernur bersama Kapolda sempat menemui massa dan berjanji membuka ruang dialog.
Selain itu, kebijakan wajib kendaraan operasional berpelat BM bagi seluruh perusahaan yang beroperasi di Riau juga memantik pro dan kontra. Surat Edaran Bapenda Nomor SE 2507/900.1.13.1/Bapenda/2025 itu dinilai sebagai langkah strategis untuk meningkatkan PAD, namun sejumlah pihak menilai kebijakan tersebut bisa memberatkan dunia usaha.
Ujian Legitimasi dan Persepsi Publik
Pengamat sosial menilai bahwa rangkaian aksi dan kebijakan kontroversial ini menjadi tanda bahwa kepercayaan publik terhadap kepemimpinan daerah tengah diuji. Kritik muncul tidak hanya dari kalangan aktivis, namun juga dari akademisi dan pelaku usaha yang menilai pemerintah perlu lebih responsif terhadap aspirasi rakyat.
Beberapa media lokal menulis bahwa pemerintahan Abdul Wahid tampak “sibuk memadamkan gelombang kritik” ketimbang menenangkan publik dengan langkah-langkah nyata. Meski gubernur kerap menegaskan dirinya terbuka terhadap kritik dan siap berdialog, rentetan aksi yang berujung ricuh seolah menjadi indikator bahwa komunikasi antara pemerintah dan masyarakat belum berjalan efektif.
“Seringnya demonstrasi dan kebijakan yang menimbulkan pro kontra menunjukkan bahwa pemerintahan saat ini menghadapi tantangan besar dalam membangun kepercayaan rakyat,” tulis salah satu kolumnis Riau Pos dalam edisi opini pekan lalu.
Catatan Akhir: Saatnya Pemerintah Menatap Ke Dalam
Dalam kurun waktu delapan bulan, wajah pemerintahan Abdul Wahid telah diwarnai oleh semangat reformasi, namun juga oleh ketegangan sosial. Gelombang protes, mulai dari mahasiswa hingga masyarakat peduli keadilan, menjadi pengingat bahwa Riau menanti kepemimpinan yang bukan hanya mendengar, tetapi juga bertindak nyata.
Kini, publik menantikan apakah Gubernur Abdul Wahid mampu mengubah gelombang kritik menjadi momentum perbaikan atau justru membiarkan ketidakpuasan publik terus menggerus legitimasi politiknya di Bumi Lancang Kuning.