laporan:pakcik amin
DUMAI,www.mediaaktualitas.com
Polemik mengenai penangguhan penahanan kembali mencuat ke ruang publik usai kasus viral yang ada di Dumai dan mentersangkakan seorang ibu rumah tangga IS dalam kasus tersebut ada beberapa Pihak baik kuasa atau anggota DPRD Dumai mengajukan permohonan untuk tidak ditahan selama proses hukum berlangsung. Pertanyaannya, sejauh mana hak atas penangguhan penahanan dijamin dalam sistem hukum Indonesia, dan bagaimana peran hakim dalam memberikan atau menolak permohonan tersebut?
Menurut Pasal 31 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tersangka atau terdakwa memiliki hak untuk mengajukan permohonan penangguhan penahanan kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim. Dalam praktiknya, keputusan untuk mengabulkan permohonan tersebut berada dalam diskresi pejabat berwenang, terutama hakim ketika perkara telah memasuki tahap persidangan.
“Penangguhan penahanan bukanlah bentuk pembebasan, tapi pengalihan status hukum dari yang tadinya ditahan menjadi tidak ditahan, dengan atau tanpa syarat tertentu, seperti wajib lapor atau jaminan uang,” ujar Dr (cand) Eko Saputra, S.H.,M.H praktisi hukum dan pengacara yang cukup dikenal ini. Ia menambahkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin asas praduga tak bersalah serta menghindari pelanggaran hak asasi manusia.
Eko juga menegaskan bahwa hakim memiliki kewenangan penuh dalam mengabulkan atau menolak permohonan tersebut dengan mempertimbangkan tiga syarat utama sebagaimana disebut dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yakni kekhawatiran tersangka melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana.
“Jika tidak ada urgensi penahanan dan tersangka kooperatif, maka hakim dapat mengabulkan permohonan penangguhan. Namun tentu harus tetap ada kontrol agar proses hukum tidak terganggu,” imbuhnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 juga memperkuat perlindungan terhadap hak tersangka atau terdakwa dengan menekankan bahwa penahanan adalah upaya terakhir (ultimum remedium), bukan langkah utama dalam proses hukum.
Meski demikian, kebijakan hakim dalam praktik seringkali menuai kontroversi publik, terutama dalam perkara-perkara yang menarik perhatian masyarakat. Tidak jarang penangguhan penahanan dianggap sebagai bentuk privilese hukum bagi kalangan tertentu. Menanggapi hal itu, Eko Saputra menilai pentingnya transparansi dalam pertimbangan hakim.
“Setiap keputusan hakim wajib disertai alasan hukum yang rasional dan adil. Jika masyarakat menginginkan keadilan, maka proses pengadilan harus terbuka dan dapat diuji secara hukum,” ujarnya.
Dalam konteks reformasi hukum, Eko Saputra juga mendorong agar lembaga peradilan semakin memperkuat mekanisme pengawasan internal dan eksternal untuk menjamin tidak adanya penyalahgunaan kewenangan dalam pemberian penangguhan penahanan.
“Prinsipnya bukan semata siapa yang mengajukan, tapi bagaimana kelayakan hukum dan objektivitas dalam menilai permohonan. Hakim adalah pilar keadilan, bukan sekadar pelaksana prosedur,” pungkasnya.
Dengan demikian, meskipun hak atas penangguhan penahanan diakui secara hukum, pelaksanaannya tetap bergantung pada kewenangan pejabat hukum terkait, khususnya hakim, yang harus bertindak berdasarkan pertimbangan objektif demi menjaga keseimbangan antara hak individu dan kepentingan publik.
Dan tentu hal itu tetap menjadi hak perogratif dari Hakim yang memeriksa dan mengadili suatu perkara yang ia sidangkan. tutupnya’
Pakcik amin